Sabtu, 26 Desember 2015

Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan


Tingkat kejahatan tertinggi di Indonesia masih dipegang oleh kasus tingkat kekerasan seksual. Periode Maret 2015, kasus kekerasan seksual tertinggi sebesar 35 peren di Indonesia.

Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU, Mursyidah Thahir menjelaskan, angka kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan terus meningkat dan memprihatinkan.

"Pelaku pada kekerasan seksual didominasi oleh orang terdekat. Mencegah kekerasan paling efektif adalah dengan keluarga," terangnya dalam acara Semiloka Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Islam (MUI) DKI Jakarta pada Rabu, (12/8).

Menurut data KPAI dari tahun 2011 hingga 2014, angka kasus kekerasan seksual selalu meningkat. Pada tahun 2011, kasus kekerasan sebanyak 328. Di tahun 2012 naik menjadi 746, lalu 525 kasus pada 2013 dan meningkat drastis sebanyak 1380 pada tahun 2014.

Dari kasus kekerasan yang terjadi, dominasi korban kekerasan adalah perempuan. Menurut Mursyidah, kekerasan yang paling sering terjadi adalah pencabulan dan perkosaan.

"Namun jika melihat data, kasus kekerasan juga banyak terjadi oleh pasangan yang suka sama suka atau pacaran. Pelaku kekerasan biasanya adalah pacar sendiri, ini menyebabkan jumlah pengguguran bayi juga meningkat pertahunnya, sungguh menyedihkan.

Semntara itu, Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja dan Keluarga MUI DKI Jakarta Faizmah Ali Ayibromalisi menuturkan, alasan digelarnya semiloka karena melihat kondisi aktual perempuan dan anak masih mengalami kekerasan.

Menurutnya gender yang jadi sorotan utama, masih belum mendapat porsinya di masyarakat, untuk itu Komisi Perempuan MUI DKI merasa perlu membahasnya untuk bebaskan perempuan dari ketertindasan yang menyebabkan perempuan tidak bisa mengoptimalkan dirinya.

"Apalagi kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, jika perempuan masih sibuk dengan penindasan dalam kehidupannya, bagaimana bisa mencerdaskan umat, termasuk anaknya," tekan Faizmah.

Source :  http://m.beritasatu.com/megapolitan/298569-jumlah-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-terus-meningkat.html

Sabtu, 19 Desember 2015

Hadirkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Program Legislasi Nasional


Merespon pembahasan daftar usulan Program Legislasi Nasional pada akhir November 2015 di DPR RI yang akan mengesahkan Program Legislasi Nasional tambahan jangka menengah danProgram Legislasi Nasional Prioritas 2016, KomisiNasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan(Komnas Perempuanmenyerukan kepada DPR RI dan Pemerintah untuk memberikan dukunganterhadap hadirnya payung hukum yang memberikan perlindungan komprehensif bagikorban kekerasan seksual melalui RancanganUndang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalahikhtiar dari masyarakat sipil di Indonesia yang difasilitasi oleh Komnas Perempuan beserta mitrayang terlibat dalam penyusunan draft RUU ini. RUU ini hadir dengan harapan untuk mengatasi segenappersoalan yang terjadi dalam sistem peradilanpidana penanganan kasus kekerasan seksualketidaktersediaan layanan pemulihan yang komprehensif bagi korbankeluarga dankomunitasnyasekaligus untuk menciptakan sistempencegahan kekerasan seksual oleh LembagaNegara, Korporasi dan Lembaga Masyarakat.

Persoalan kekerasan seksual adalah masalahbersama bangsa ini yang memerlukan penangananmenyeluruh tanpa penundaan. Setiap orang rentanmenjadi korban kekerasan seksualterutamaperempuan dan anak-anakbaik anak laki-lakiterlebih lagi anak perempuan. PendokumentasianKomnas Perempuan terhadap kasus kekerasanterhadap perempuan sepanjang 1998 – 2010 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksualberjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan. Dari total 400.939 kasuskekerasan yang dilaporkansebanyak 93.960 kasusdi antaranya merupakan kasus kekerasan seksual.[1] Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012 menunjukkan bahwa setiap hari sedikitnya 35 perempuan (termasuk anak perempuanmengalami kekerasan seksualBerdasarkan rata-rata kasus yang dicatat dalam Catatan TahunanKomnas Perempuan sampai dengan tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa setiap 2 jam ada 3 perempuan Indonesia yang menjadi korbankekerasan seksual. [2] Data ini tercatat sebagaidata kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, di luar data ini disadari bahwa kasus yang dilaporkanakan selalu lebih besar (fenomena puncak gununges).

Pendokumentasian Forum Pengada Layanansepanjang tahun 2014 di 9 provinsi menyebutkanbahwa 45 persen korban kekerasan seksual masihberusia di bawah 18 tahunSebanyak 85% pelakukekerasan seksual terhadap perempuan adalahorang terdekat seperti orang tuasaudarasuamipacartetanggateman dan guru. Sebanyak 100% perempuan yang menjadi korban kekerasanseksual sudah dipilih dan atau ditarget oleh parapelakunya. Dan sebanyak 43 persen kekerasanseksual dilakukan dengan ancaman/intimidasi dankekerasan serta 57% dengan tipu muslihat. Fakta di lapangan dalam penanganan perempuan korbankekerasan seksual ditemukan bahwa banyak kasuskekerasan seksual tidak dipidanakanaturanpembuktian yang menyulitkan perempuan korbanmengakses keadilansehingga menyebabkanterjadinya impunitas pelakureviktimisasi korbandan berulangnya kekerasan seksual terhadapperempuanArtinya bahwa hukum dan sistempenanganan yang ada saat ini tidak cukup untukmencegah kasus kekerasan seksualmenghukumpara pelakunyamelindungi hak-hak parakorbannyaserta mentransformasi masyarakat danbudaya hukum terkait kekerasan seksual.

Demi mewujudkan masa depan bangsa Indonesia yang terbebas dari berbagai bentuk kekerasantermasuk kekerasan seksualmaka tugas Negara melalui Lembaga LegislatifEksekutif dan Yudikatifuntuk membangun sistem pencegahan danpenanganan terpadu yang berorientasi padapemenuhan hak korban kekerasan seksual ataskebenarankeadilan dan pemulihan.

 

Source : http://www.komnasperempuan.or.id/siaran-pers-hadirkan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-dalam-program-legislasi-nasional-prolegnas-tambahan-jangka-menengah-dan-prolegnas-prioritas-2016/

Kamis, 10 Desember 2015

Laki-Laki Harus Ikut Tangani Perempuan Korban Kekerasan


Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan perlu peranan laki-laki, baik dalam kerangka pencegahan maupun pemulihan kondisi korban. Hal itu penting meski pelaku kekerasan masih didominasi kaum pria, terutama kerabat dekat korban.

Direktur Nurani Perempuan Women's Crisis Center (NP-WCC) Sumatera Barat (Sumbar) Yefri Heriani menerangkan, salah satu peranan yang bisa dilakukan laki-laki adalah melindungi perempuan dalam proses hukum. Laki-laki, kata dia, bisa menjadi pelindung saat korban melaporkan tindakan pelecehan yang dialaminya kepada polisi.

"Rata-rata masyarakat kita masih takut dan menganggap ini (pelecehan) sebagai aib. Padahal, ini bisa dilaporkan dan dibawa ke ranah hukum. Laki-laki bisa ambil peran di sana," terang Yefri di depan Kantor DPRD Sumbar, Rabu (25 November 2015).

Analisis NP-WCC atas sejumlah kasus kekerasan yang ditangani menunjukkan, upaya pencegahan dan pemulihan korban kekerasan seksual oleh laki-laki tergolong lemah.

 Yefri menyatakan, rata-rata dukungan yang diberikan keluarga dan masyarakat sekitar masih kurang memiliki perspektif gender yang baik. Masyarakat masih banyak yang menganggap penanganan dan aksi pencegahan kekerasan seksual merupakan tanggung jawab perempuan saja.

"Sudah saatnya kita bergandengan tangan, bahu membahu untuk melakukan perlindungan, pencegahan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Ini bukan tanggung jawab perempuan saja, laki-laki juga bertanggung jawab untuk melindungi para ibu, kakak, adik, istri dan anak perempuan mereka," cetus Yefri.

Ia menegaskan, cara pandang laki-laki terhadap perempuan harus diubah. Laki-laki, kata dia, tidak boleh lagi memandang perempuan sebagai objek ataupun komoditas. 

"Laki-laki sudah seharusnya mengubah cara pandangnya terhadap perempuan.Kekerasan seksual harus kita cegah sejak dalam pikiran," sahut dia.

Terkait hal itu, NP-WCC menyelenggarakan kampanye terkait penolakan kekerasan terhadap perempuan selama 16 hari ke depan yang dimulai sejak Rabu, 25 November 2015. Lembaga itu juga mendesak pemerintah melalui DPRD Sumbar untuk memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. (Din/Sun) (source : Liputan6)